Pages

Kamis, 22 Desember 2011

Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

FILSAFAT EKSISTENSIALISME
Abstrak
Keunikan filsafat eksistensialisme yaitu memfokuskan pembahasan pada masalah-masalah individu. Dimana, eksistensialisme memberi individu suatu jalan berpikir mengenai kehidupan, apa maknanya bagi saya, apa yang benar untuk saya. Secara umum, eksistensialisme menekankan pilihan kreatif, subjektifitas penglaaman manusia, dan tindakan konkret dari keberadaan manusia atas setiap skema rasional untuk hakikat manusia atau realitas. Namun, fisafat ini tidak membahas hal yang berhubungan dengan pengembangan sistem pemikiran untuk mengidentifikasi dan memahami apa yang umum pada semua realitas, keberadaan manusia, dan nilai.

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dalam dunia pendidikan, begitu kompleks permasalahan yang muncul dan harus dipecahkan dengan maksud agar tercapainya tujuan pendidikan. Karenanya, hal tersebut memunculkan timbulnya filsafat pendidikan dimana di dalamnya terbagi-bagi lagi menjadi berbagai macam aliran. Salah satunya, adalah aliran pendidikan filsafat eksistensialisme yang akan dibahas lebih lanjut dalam bab pembahasan.
Filsafat eksistensialisme memfokuskan pembahasan pada pengalaman-pengalaman individu. Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Sedangkan eksistensi itu sendiri ialah cara manusia berada di dunia.

B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana sejarah lahirnya filsafat eksistensialisme.
2.      Konsep dasar filsafat eksistensialisme.
3.      Implikasi aliran filsafat eksistensialisme dalam dunia pendidikan.

C.     Tujuan dan Manfaat
1.      Untuk memenuhi salah satu tugas dalam mata kuliah filsafat pendidikan.
2.      Agar kita mengetahui dan memahami tentang pengertian filsafat eksistensialisme, bagaimana sejarahnya, dan apa implikasinya terhadap dunia pendidikan.
3.      Dengan mengetahui dan memahami implikasinya pada dunia pendidikan, kitta dapat mengaplikasannya, terutama saat kita telah menjadi guru.


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

Dalam dunia ini pasti akan muncul banyak pertanyaan tentang alam semesta baik tentang siapakah yang menciptakan alam semesta ini sampai bagaimana alam semesta ini dapat terbentuk. Oleh karena itu, sejak zaman dahulu banyak para pemikir yang berusaha memecahkannya sehingga lahirlah filsafat. Kata filsafat berasal dari bahasa yunani yaitu Philosophia yang terdiri dari kata philos yang berarti cinta dan Sophia yang ebrarti kebijaksanaan, kearifan atau pengetahuan. Jadi, filsafat berarti cinta pada kebijaksanaan atau cinta pada pengetahuan. Akan tetapi, pengertian dari segi bahasa ini belum cukup menjelaskantentang filsafat. Berfilsafat adalah berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu dengan mengunakan pemikiran secara serius. Jadi, bisa diartikan bahwa filsafat adalah cara berpikir kritis untuk menemukan tentang segala sesuatu. 
Dalam dunia pendidikan juga muncul banyak permasalahan yang perlu dipecahkan. Oleh karena itu, muncullah filsafat pendidikan. Menurut E. J. Power dalam bukunya Phylosophi of  Education (1982), filsafat pendidikan bertujuan memberikan inspirasi bagaimana mengorganisasikan proses pembelajaran  yang ideal. Hal-hal penting yang dilakukan oleh filsafat pendidikan adalah :
1.  Memberikan inspirasi, yakni menyatakan/mengemukakan tujuan pendidikan Negara bagi masyarakat. Di Indonesia, tujuan pendidikan nasional tercantum dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 tentang Sisten Pendidikan Nasional.
2.      Melaksanakan anlisis, yaitu menemukan dan menginterpretasikan dalam kegiatan pembahasan teori pendidikan ataupun praktik pendidikan.
3.      Memberikan pengarahan, artinya memberikan arah yang jelas dan tepat untuk melaksanakan praktik pendidikan sebagai implementasi dari perencanaan.
4.      Melaksanakan penyelidikan dan mengajukan pertanyaan. Dalam hal ini filsafat pendidikan menanyakan kebijakan pendidikan dan praktik di lapangan dengan tujuan memberikan kritik, persetujuan atau kalau perlu mengadakan perubahan/modifikasi.
Dalam filsafat pendidikan terdapat berbagai aliran, yaitu:
1.      Filsafat pendidikan idealisme
2.      Filsafat pendidikan realisme
3.      Filsafat pendidikan materialisme
4.      Filsafat pendidikan pragmatisme
5.      Filsafat pendidikan eksistensialisme
6.      Filsafat pendidikan esensialisme
7.      Filsafat pendidikan perenialisme
8.      Filsafat pendidikan rekonstruksionisme


BAB III
PEMBAHASAN

A.    Sejarah Lahirnya Aliran Filsafat Eksistensialisme
Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kier Kegard (Denmark:1813-1855). Inti masalahnya ialah: Apa itu kehidupan manusia? Apa tujuan dari kegiatan manusia? Bagaimana kita menyatakan keberadaban manusia? Pokok pemikirannya dicurahkan kepada pemecahan yang konkret terhadap persoalan arti “berada” mengenai manusia. Tokoh-tokoh lainnya yang kita kenal diantaranya: Martin Buber, Martin Heideger, Jean Paul Satre, Karl Jasper, Gabril Marcell, Paul Tillich.
      Tulisan-tulisan Jean Paul Satre (1905-1980), filosof Prancis terkenal, penulis, dan penulis naskah drama, menjadi yang paling bertanggung jawab untuk penyebaran gagasan-gagasan eksistensialisme yang luas. Menurut Satre (Parkay, 1998), setiap individu terlebih dahulu hadir dan kemudian ia harus memutuskan apa yang ada untuk dimaknai. Tugas menentukan makna keberadaan/eksistensi ada pada individu seseorang: tidak ada system keyakinan filosofis yang dirumuskan sebelumnya dapat mengatakan pada seseorang siapa orang itu. Ini sampai masing-masing dari kita memutuskan siapa kita adanya. Selanjutnya menurut Satre, “Eksistensi mendahului esensi… Terlebih dahulu, manusia ada, hadir, muncul di panggung, dan hanya setelah itu menentukan dirinya sendiri.
      Menurut Parkay (1998) terdapat dua aliran pemikiran eksistensialisme, yang satu bersifat theistic (bertuhan), yang lainnya  atheistic (tidak bertuhan). Kebanyakan dari pandangan-pandangan itu masuk kedalam aliran pemikiran pertama dengan menyebut diri mereka sendiri sebagai kaum Eksistensialisme Kristen dan menunjukkan bahwa manusia memiliki suatu kerinduan akan suatu wujud sempurna, Tuhan. Melalui kerinduan ini tidak membuktikan keberadaan Tuhan, orang-orang dapat secara bebas memilih untuk tinggal dalam kehidupan mereka seakan-akan ada Tuhan.
      Eksistensialisme atheistic memiliki pemikiran bahwa  pendirian tersebut (theistik) merendahakan kondisi manusia. Dikatakan bahwa kita harus memiliki suatu fantasi agar dapat tinggal dalam kehidupan tanggungjawab moral. Penfirian semacam itu membebaskan manusia dari tanggung jawab untuk berhubungan dengan kebebasan pilihan sempurna yang dimiliki kita semua. Pendirian itu juga menyebabkan mereka menghindari fakta yang ”didapat itu terlepas”, “kita sendirian, dengan tidak ada maaf”, dan “kita terhukum agar bebas”.

B.     Konsep Dasar Filsafat Eksistensialisme
1.      Realitas
Realitas adalah kenyataan hidup itu sendiri. Untuk menggambarkan realitas, kita harus menggambarkan apa yang ada dalam diri kita, bukan yang ada diluar kondisi manusia. Eksistensialisme merupakan filsafat yang memandang segala gejala berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dunia. Cara berada manusia berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi. Keberadaan benda-benda materi berdasarkan ketidaksadaran akan dirinya sendiri, dan juga tidak terdapat komunikasi antara satu dengan lainnya. Tidak demikian halnya dengan beradanya manusia. Manusia berada bersama dengan manusia lainnya sama, yaitu sederajat.
Bagi eksistensialisme, benda-benda materi, alam fisik, dunia yang berada diluar manusia tidak akan bermakna atau tidak memiliki tujuan apa-apa kalau terpisah dari manusia. Jadi, dunia ini bermakna kaarena manusia. Eksistensialisme mengakui bahwa apa yang dihasilkan sains cukup asli, namun tidak memiliki makna kemanusiaan secara langsung.

2.      Pengetahuan
Teori pengetahuan eksistensialisme banyak dipengaruhi oleh filsafat fenomenologi, suatu pandangan yang menggambarkan penampakan benda-benda dan peristiwa-peristiwa sebagaimana benda-benda tersebut menampakkan dirinya terhadap kesadaran manusia. Pengetahuan manusia tergantung pada pemahamannya tentang realitas dan tergantung pada interpretasi manusia terhadap realitas. Pelajaran di sekolah akan dijaidikan alat untuk merealisasikan diri, bukan merupakan suatu disiplin yang kaku dimana anak harus patuh dan tunduk pada isi pelajaran tersebut. Biarkanlah pribadi anak berkembang untuk menemukan kebenaran-kebenaran dalam kebenaran.

3.      Nilai
Pemahaman eksistensialisme pada nilai, menekankan kebebasan dalam tindakan. Kebebasan bukan tujuan atau suatu cita-cita dalam dirinya sendiri, melainkan merupakan suatu potensi untuk suatu tindakan. Manusia memiliki kebebasan untuk memilih, namun menentukan pilihan-pilihan diantara pilihan-pilihan yang terbaik adalah yang paling sukar. Berbuat akan menghasilkan akibat, dimana seseorang harus menerima akibat-akibat tersebut sebagai pilihannya. Kebebasan tidak pernah selesai, karena setiap akibat akan menghasilkan kebutuhan untuk pilihan berikutnya.

C.     Implikasi Aliran Filsafat Eksistensialisme Dalam Dunia Pendidikan
Eksistensialisme sebagai filsafat sangat menekankan individulitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Setiap individu dipandang sebagai makhluk unik, dan secara unik pula ia bertanggungjawab terhadap nasibnya. Dalam hubungannya dengan pendidikan, Sikun Pribadi (1671) mengemukakan bahwa eksistensialisme berhubungan sangat erat dengan pendidikan karena keduanya bersinggungan satu sama lain pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan). Pusat pembicaraan eksistensialisme adalah “keberadaan” manusia, sedangkan pendidikan hanya dilakukan oleh manusia. Berikut impilkasi aliran filsafat eksistensialisme dalam dunia pendidikan.
1.      Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan adalah untuk mendorong setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri. Setiap individu memiliki kebutuhan dan perhatian yang spesifik berkaitan dengan pemenuhan dirinya, sehingga dalam menentukan kurikulum tidak ada kurikulum yang pasti dan ditentukan berlaku secara umum.
2.      Kurikulum
Kaum ekstensialis menilai kurikulum berdasarkan pada apakah hal itu berkontribusi pada pencarian individu akan makna dan muncul dalam suatu tingkatan kepekaan personal yang disebut Greene “Kebangkitan yang luas”. Kurikulum ideal adalah kurikulum yang memeberi para siswa kebebasan individual yang luas dan mensyaratkan mereka untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan, melaksanakan pencarian-pencarian mereka sendiri, dan menarik kesimpulan-kesimpulan mereka sendiri.
Menurut pandangan eksistensialisme, tidak ada satu mata pelajaran tertentu yang lebih penting daripada yang lainnya. Mata pelajaran merupakan materi dimana individu akan dapat menemuian dirinya dan kesadaran akan dunianya. Mata pelajaran yang dapat memenuhi tuntutan diatas adalah mata pelajaran IPA, Sejarah, Sastra, Filsafat, dan Seni. Bagi beberapa anak, pelajaran yang dapat membantu untuk menemukan dirinya adalah IPA, namun bagi yang lainnya mungkin saja bisa Sejarah, Filsafat, Sastra, dan lain sebagainya.
Kurikulum eksistensialisme memberikan perhatian yang besar pada humaniora dan seni. Karena kedua materi tersebut diperlukan agar individu dapat mengadakan introspeksi dan mengenalkan gambaran dirinya. Pelajar harus didorong untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang dapat mengembnagkan keterampilan yanag dibutuhkan, serta memperoleh pengetahuan yang diharapkan.

3.      Proses Belajar Mengajar
Menurut Kneller (1971) konsep belajar mengajar eksistensialisme dapat diaplikasikan dari pandangan Martin Buber tentang “dialog”. Dialog ialah percakapan antara pribadi dengan pribadi, dimana setiap pribadi merupakan subjek bagi yang lainnya, dan merupakan suatu percakapan antara “aku” dengan “engkau” . sedangkan lawan dai dialog ialah suatu “paksaan”, dimana seseorang memaksakan kehendaknya kepada orang lain, memandang orang lain sebagai objek. Menurut Buber, kebanyakan pendidikan merupakan paksaaan. Anak dipaksa menyerah pada kemauan guru, atau pada pengetahuan yang tidak fleksibel, dimana guru menjadi penguasanya.
Selanjutnya, Buber mengemukakan, hendanya guru jangan disamakan dengan seorang instruktur, karena ia hanya akan merupakan perantara yang sederhana antara subjek mater dengan siswa. Kalau guru dianggap sebagai instruktur, ia akan turun martabatnya, hanya sekedar alat untuk mentransfer ilmu pengetahuan, dan murid akan menjadi hasil dari transfer itu. Pengetahuan akan menguasai manusia, sehingga manusia akan menjadi alat dan produk dari pengetahuan itu.
            Dalam proses belajar mengajar, pengetahuan tidak dilimpahkan, melainkan ditawarkan. Untuk menjadikan hubungan guru dengan murid sebagai suatu dialog, maka pengetahuan yang akan diberikan kepada murid, harus menjadi bagian dari pengaaman pribadinya, sehingga guru akan berjumpa dengan anak sebagai pribadi dengan pribadi. Pengetahuan yang ditawarkan guru, tidak lagi merupakan sesuatu yang diberikan kepada murid, melainkan merupakan suatu aspek yang telah menjadi miliknya sendiri.

            Guru harus mampu membimbing dan mengarahkan siswa dengan seksama sehingga siswa mampu berpikir relatif melalui pertanyaan-pertanyaan. Dalam arti, guru tidak mengarahkan dan tidak memberi instruksi. Guru hadir dalam kelas dengan wawasan yang luas agar betul-betul menghasilkan diskusi tentang mata plajaran. Diskusi ialah metode utama dalam pandangana eksistensialisme. Siswa memiliki hak untuk menolak interpretasi guru tentang pelajaran. Sekolah ialah suatu forum dimana para siswa mampu berdialog dengan teman-temannya, dan guru membantu menjelaskan kemajuan siswa dalam pemenuhan dirinya.
            Guru hendaknya memberi semangat kepada murid untuk memikirkan dirinya didalam suatu dialog. Guru menanyakan tentang ide-ide yang dimiliki murid, dan mengajukan ide-ide lain, dan membimbingnya untuk memilih alternatif. Maka siswa akan melihat, bahwa kebenaran tidak terjadi kepada manusia melainkan dipilih oleh mereka sendiri. Lebih dari itu, siswa harus menjadi actor dalam suatu drama belajar, bukan penonton.




BAB IV
KESIMPULAN
            Eksistensialisme adalah filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal kepada eksistensi. Eksistensi adalah cara manusia berada di dalam dunia. Eksistensialisme berasal dari pemikiran Soren Kier Kegard. Eksistensialisme sebagai filsafat, sangat menekankan individualitas dan pemenuhan diri secara pribadi. Eksistensialisme sangat berhubungan erat dengan pendidikan, karena keduanya bersinggungan satu dengan yang lainnya pada masalah-masalah yang sama, yaitu manusia, hidup, hubungan antar manusia, hakikat kepribadian, dan kebebasan (kemerdekaan).
Filsafat eksistensialisme memiliki implikasi terhadap dunia pendidikan, yaitu untuk: tujuan pendidikan, kurikulum, dan dalam proses belajar mengajar.


DAFTAR PUSTAKA
Mudyahardjo, Redja. dkk. (1993). Dasar-dasar Kpependidikan. Jakarta: Universitas Terbuka
Poedjiadi, Anna. (2008). Filsafat Ilmu. Jakarta: Universitas Terbuka
Sadulloh, uyoh. (2006). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta
Salam, Burhanudin. (2002). Pengantar Pedagogik. Jakarta: Rineka Cipta

1 komentar:

Unknown mengatakan...

mantap neng

Posting Komentar